EksposisiNews – “Saya sependapat dengan Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara serta tokoh pendidikan Muhammad Sjafei yang mengatakan bahwa pendidikan itu harusnya memerdekakan pemikiran, serta membekali keberanian kepada anak didik atau mahasiswa untuk bernalar dengan menggunakan koridor ilmiah dengan argumen-argumen yang kuat tentunya,” kata Riri Satria memberikan jawaban ketika ditanya tentang tantangan pendidikan di era masyarakat cerdas 5.0 saat ini, dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2023.
Lebih lanjut, Riri Satria juga menerangkan bahwa dua tokoh pendidikan nasional Indonesia di masa lalu yaitu Ki Hadjar Dewantara dan Muhammad Sjafei mengatakan bahwa pendidikan bukanlah bertujuan untuk membuat orang menjadi peniru yang tumpul kreativitas, karena dalam jangka panjang hal ini tentu tidak baik untuk kemajuan sebuah masyarakat.

“Pendidikan itu bertujuan untuk menghasilkan generasi bernalar, kreatif dan inovatif, berkarakter, dan tentu saja memiliki nasionalisme yang tinggi, “ terangnya.
Menurut Riri, Muhammad Sjafei memiliki pemikiran bahwa tujuan pendidikan adalah menghasilkan manusia yang berketerampilan dan punya daya kreatif melalui tiga komponen utama yaitu memberdayakan tenaga agar bisa bekerja, memberdayakan otak agar berpikir, dan memberdayakan jiwa bisa merasa.
“Beliau mendirikan Indonesische-Nederlandsche School (INS) di Kayutanam, Sumatera Barat yang merupakan reaksinya terhadap pendidikan kolonial waktu itu, yang hanya bertujuan untuk mempersiapkan anak-anak pribumi menjadi pegawai rendahan Belanda, “ bebernya.
Sementara itu, kata Riri, konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan yang memerdekakan dengan tujuannya adalah kemerdekaan. Merdeka berarti setiap orang dapat memilih menjadi apa saja dengan tetap menghargai kemerdekaan yang dimiliki orang lain juga. Konsep ini terkenal dengan tiga semboyan dalam bahasa Jawa, ing ngarsa sung tulada, Ping madya mangun karya, tut wuri handayani, yang bermakna di depan memberikan contoh, di tengah memberi semangat, dan di belakang memberi dorongan.
“Namun pikiran yang merdeka bukanlah pikiran yang asal bebas begitu saja, melainkan juga punya unsur tanggung jawab. Di balik kemerdekaan, atau suatu pertanggungjawaban. Kita harus bertanggung jawab dengan pemikiran kita sendiri, “ paparnya.
Saat ini perkembangan sains dan teknologi berlangsung dengan pesat. Perkembangan itu sangat menakjubkan dan mencengangkan. Misalnya, perkembangan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), teknologi blockchain dan metaverse, lalu bioteknologi serta teknologi kedokteran dan farmasi, serta tantangan-tantangan terkait lingkungan hidup atau sustainability development, semua harus dijawab dengan pendidikan yang mumpuni dengan landasan filosofis yang kuat.
Tidak zamannya lagi pendidikan membuat manusia menjadi penghafal yang hanya menggunakan kemampuan low order thinking skills atau LOTS, melainkan mengoptimnalkan kemampuan high order thinking skills atau HOTS. Pemikiran kedua tokoh pendidikan kita, Ki Hadjar Dewantara dan Muhammad Sjafei sudah mengingatkan kita jauh-jauh tentang hal ini. Seabad yang lalu, mereka berdua sudah mengatakan kepada kita bahwa high order thinking skills ini yang perlu dioptimalkan (tentu saja dengan kalimat atau istilah yang tidak persis sama), di mana manua bisa merdeka berpikir, kritis, konstruktif, serta berkreasi bahkan berinovasi untuk peradaban manusia.
Bayangkan jika dalam proses pendidikan, kemampuan berpikir anak didik diberangus, tidak bisa berpikir kritis, hanya karena dia berbeda pendapat dengan guru atau dosennya. Tentunya berbeda pendapat dengan logika dan argument yang baik, bukan asal berbeda. Jika hal ini terjadi, maka pendidikan hanya akan menghasilkan manusia menjadi pengikut tanpa memiliki kemampuan berpikir yang kritis, apalagi merdeka dalam berpikir.
“Jadi kita ini sebenarnya memiliki filosofi pendidikan tersendiri yang diletakkan oleh para founding fathers kita di bidang pendidikan, yaitu membekali dan memerdekakan. Ini sangat kita butuhkan sebagai landasan menjawab tantangan era masyarakat cerdas atau smart society 5.0,” tegas Riri Satria yang juga seorang pengamat ekonomi dan teknologi digital, aktivis literasi dan kesusasteraan, serta Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia ini menutup penjelasannya.***