Hegemoni AS dan China

Diawal timbulnya perang dagang antara AS dan China, kedua belah pihak saling melontarkan ancaman dan komentar pedas, yang berujung kepada realisasi ancaman dimulai oleh AS yang memberlakukan tambahan pajak atas barang-barang impor China yang jumlahnya lumayan bombastis. Sebagai wujud hegemoni AS dan China.

Seakan tak mau kalah, China pun membalas dengan tindakan yang sama persis namun dengan kapasitas yang masih terukur. Sampai disini AS tidak mau kalah, beberapa perusahaan asal negara Tirai Bambu itupun mulai terkena imbasnya seperti Huawei dan ZTE. Produk kedua perusahaan ini mulai ditolak masuk AS bahkan sempat dituding melakukan kegiatan spionase melalui perangkatnya yang dijual di AS, seolah menambah luka, Eropa pun mulai ikut-ikutan memperketat persyaratan operasi bagi perusahaan asing, utamanya sektor teknologi, meskipun kita tahu perusahaan mana yang mereka bidik.

Minggu lalu ada secercah harapan bahwa kondisi akan membaik ketika AS dan China menggelar pertemuan untuk membahas polemik perang dagang ini, tapi sekali lagi pasar dibuat kecewa karena ternyata tidak ada terobosan atau solusi yang jelas. Malah Presiden Trump semakin menjadi-jadi dengan membuat kebijakan baru, yaitu penambahan pajak impor sampai $200 miliar. Sementara China sudah berjanji akan bertindak dengan mengajukan pajak balas yang jumlahnya mencapai $100 miliar.

Perang dagang antara AS dan China sedikit banyak menggoyang stabilitas pasar di kawasan, utamanya negara-negara dunia ketiga yang berada ditengah pusaran konflik dua raksasa ekonomi tersebut. Diperkirakan, tensi yang berkaitan dengan perang dagang masih akan berlanjut beberapa bulan kedepan.

Selain itu, Amerika juga sedang mempertimbangkan untuk membatasi investasi dari China untuk mengurangi ketergantungan, solusinya yaitu dengan menandatangani kesepakatan NAFTA dengan Meksiko. NAFTA sendiri adalah sebuah kesepakatan pasar bebas negara-negara Amerika Utara yang meliputi Kanada, Meksiko dan Amerika Serikat. Dibawah kesepakatan ini, tentu saja Meksiko akan menjadi pabrik bagi produk-produk buatan perusahaan Amerika yang sebelumnya banyak dikaryakan ke China.

Permasalahan utama antara AS dan China adalah ketimpangan kegiatan perdagangan dimana AS lebih banyak membeli produk-produk China ketimbang menjual produknya sendiri. Oleh karena itu kementrian perdagangan AS sempat mengirim sebuah misi khusus ke China untuk meningkatkan pembelian produk kedelai, LNG dan komoditas-komoditas milik AS lainnya. Semua itu dilakukan untuk menyeimbangkan kembali neraca perdagangan kedua negara.

Sejauh ini tindakan antisipatif yang diambil AS memang memberi dampak signifikan, China secara perlahan meskipun terpaksa, menyesuaikan kebijakan dagangnya, diantaranya mengakhiri subsidi kepada industri termasuk kepada perusahaan-perusahaan yang ditengarai mencuri kekayaan intelektual (melakukan pemalsuan). Meski langkah-langkah tim ekonomi Trump dinilai berhasil tapi agaknya mereka belum selesai dan pertempuran masih akan terjadi karena ada sebuah target besar untuk mengembalikan jaringan pasokan ke Amerika yang tadinya dikuasai China.

Dari dalam negeri sendiri, kebijakan yang diambil pemerintah bukanlah tanpa risiko, sekitar 6000 usaha akan terkena dampak dari kebijakan tarif pajak karena beberapa bahan baku menjadi mahal. Selain masalah tarif, banyak usaha yang juga mengambil keuntungan dari pemotongan pajak yang telah digolkan pemerintah. Dampak dari permasalahan ini tentu saja baru akan terasa beberapa tahun kedepan.

The Fed, sebagai otoritas keuangan paling berkuasa di AS masih positif dalam melihat kondisi perekonomian nasional saat ini, namun tak pernah sekalipun dalam rilisnya menyinggung tentang perang dagang dan tentu saja ini mengirimkan sebuah tanda tanya besar, apakah the Fed masih mengukur efeknya dan cenderung “wait and see”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini