EksposisiNews – Buku Alarm Sunyi adalah buku kumpulan puisi penyair Emi Suy yang kedua setelah Tirakat Padam Api (2011) dan sekaligus buku pertama dari Trilogi Sunyi, yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), serta Api Sunyi (2020).

Buku Alarm Sunyi sudah mengalami cetakan kedua pada tahun 2018, dan pada tahun 2023 ini dilucurkan cetakan ketiga.

Penyair Emi Suy Luncurkan Buku Puisi ‘Alarm Sunyi’ Cetakan Ketiga 1

Penyair Emi Suy menjelaskan, “Penerbitan buku ini pertama kali pada tahun 2017 merupakan sebuah pertaruhan buat saya. Mengapa demikian? Ini disebabkan adanya perdebatan dalam pikiran saya, apakah buku ini akan berhasil nantinya yaitu mendapatkan tempat di hati para pencinta puisi di Indonesia? Atau justru akan membuat saya tenggelam dan tidak diperhitungkan dalam belantika kesusanteraan Indonesia? Alhamdulillah, Tuhan Maha Baik, ternyata di luar dugaan buku ini mendapatkan sambutan yang luar biasa.”

Penyair Emi Suy lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979 dengan nama Emi Suyanti.

Ia ikut mendirikan Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM) dan saat ini aktif menjadi pengurus, serta menjabat sebagai Sekretaris Redaksi merangkap Redaktur Sastramedia, sebuah jurnal sastra daring.

Sampai saat ini Emi sudah menerbitkan lima buku kumpulan puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017) dan mengalami cetak ulang tahun 2018 (cetakan kedua) dan 2023 (ceetakan ketiga), Ayat Sunyi (2018), Api Sunyi (2020) serta Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami (2022), serta sebuah buku kumpulan esai sastra Interval (2023).

Buku Ayat Sunyi terpilih menjadi Juara Harapan III Buku Terbaik Perpustakaan Nasional RI Kategori Buku Puisi tahun 2019,

sedangkan buku Api Sunyi masuk nominasi 25 besar Sayembara Buku Puisi, Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2020.

Puisi karya Emi Suy sudah dimuat di lebih dari 100 buku kumpulan puisi bersama, serta di berbagai media nasional, antara lain Banjarmasin Post, Suara Merdeka, Media Indonesia, serta Kompas.

Emi juga pencinta fotografi dan karyanya pernah dipamerkan pada Pamaren photografi Nasional – The Power of Women – di Bandung tahun 2016.

Selain itu Emi juga aktif dalam brbagai aktivitas sosial kemanusiaan dan ikut mendirikan komunitas Jejak Langkah.

“Terus terang, cetakan kedua buku ini sudah habis di pertengahan tahun 2022 lalu. Beberapa permintaan tidak bisa lagi dipenuhi. Suatu ketika di suatu acara, ada orang yang menyampaikan kepada saya dan katanya dia tertarik pada potongan larik puisi saya yang “perempuan mesti bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri”. Lalu saya beri tahu jika potongan itu terdapat dalam buku Alarm Sunyi. Dia langsung tertarik untuk memiliki buku tersebut. Namun apa boleh buat, stok bukunya sudah habis,” ungkap Emi mantap.

Buku Alarm Sunyi ini menjadi tiket Emi Suy mengunjungi Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Ubud, Bali.

Pada buku ini ada sebuah kalimat dalam puisi Emi Suy yang menjadi terkenal, bahkan dikutip di mana-mana, termasuk dalam sebuah film, yang menjadi ciri khas Emi Suy, yaitu “perempuan mesti bisa menjahit, setidaknya menjahit lukanya sendiri”.

Kalimat ini sudah diminta banyak pihak untuk menjadi semacam tag line, bahkan termasuk iklan.

Bahkan puisi Penjahit Luka yang memuat kalimat itu dibacakan Emi ketika mendapatkan kesempatan menjajal panggung Women of Words Poetry Slam pada Ubud Writers and Readers Festival 2017 di Ubud, Bali.

Bagaimana makna sunyi menurut perspektif seorang Emi Suy?

“Bagi saya sunyi itu inti, di mana kita berasal dan kembali. Dalam Sunyi saya merasa segalanya menjadi terbuka, arah, jalan, pesan bahkan tujuan. Maka sunyi menjadi sumber penciptaan bagi saya dengan menggali berbagai makna sunyi itu sendiri. Bagi saya sunyi itu mempunyai esensi tersendiri. Sebagai perempuan, melalui sunyi saya menziarahi labirin diri saya sendiri. Sebab hari-hari terlalu riuh, terkadang penat, lelah mendera setelah seharian jungkir balik menembus waktu, tenggelam oleh rutinitas yang mau tidak mau telah mendikte hari-hari saya. Maka melalui sunyi saya menemukan kemewahan, healing, kekuatan, saya membutuhkan sunyi lantas tersesat di dalamnya dan melahirkan karya sunyi yang berbunyi. Bahwa sunyi yang gaduh yang berisik dan bising.” Demikian Emi menjelaskan makna sunyi pada dirinya dan tentu saja terefleksi ke dalam puisi-puisinya.

Sementara itu, Ketua Jagat Sastra Milenia, Riri Satria yang juga Pimpinan Umum Sastramedia mengatakan, “Diksi sunyi yang menjadi ciri khas Emi sering disalahpahami menjadi loneliness, padahal bukan! Sunyi versi Emi dalam puisi-puisinya adalah silence yang bermakna kejernihan menangkap suara-suara tak terdengar atau hidden and unspoken words melalui “mensunyikan diri”. Sunyinya Emi Suy adalah silence seperti yang dibahas oleh Emily Dickinson dan Thomas Carlylee di atas, serta Justin Zorn dan Leigh Marz dalam buku mereka yang berjudul Golden: The Power of Silence in a World of Noise, di mana sunyi atau silence bermakna how to go beyond the ordinary rules and tools of mindfulness. Bahkan jika kita tarik ke referensi yang lebih tua, maka sunyinya Emi Suy juga seperti sunyinya Helena Petrovna Blavatsky dalam bukunya The Voice of the Silence tahun 1889, dimana silence dimaknai sebagai jalan mendapatkan spiritual enlightenment dengan tujuan uplifting all of humanity.”

“Itulah sunyinya Emi Suy yang saya pahami setelah mengenalnya semakin baik. Melalui Alarm Sunyi, Emi bukan ingin mengajak kita bertapa menyepi di pergunungan, bukan demikian, namun sejenak menjaga jarak dengan hiruk-pikuk dinamika kehidupan. Melalui sunyi, Emi ingin mengajak kita menuliskan suatu keabadian serta menyatukan dirinya dengan semesta, supaya bisa melakukan eksplorasi batin, berdialog dengan diri sendiri, menangkap suara-suara alam yang penuh wisdom untuk kehidupan ini, sejalan dengan makna silence versi Justin Zorn dan Leigh Marz. Sunyi buat seorang Emi Suy adalah ideologi” demikian Riri Satria yang juga Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia ini melanjutkan.

Penyair Joko Pinurbo dalam prolognya untuk buku Alarm Sunyi cetakan pertama tahun 2017 mengatakan bahwa judul kumpulan puisi ini sebenarnya sudah menyiratkan ini permenungan dari sajak-sajak Emi Suy.

Alarm sunyi adalah diksi yang mengandung kotradiksi dalam dirinya sendiri karena terdiri atas dua kata yang berlawanan makna.

Kontradiksi makna itulah yang mengantarkan kita kepada kesadaran mengenai fungsi (ke)sunyi(an) dalam kehidupan manusia.

“Kesunyian dalam arti kesepian sering dianggap atau dirasakan sebagai kutukan: suatu situasi dan kondisi yang diliputi kehampaan, Kesia-siaan, dan keterasingan. Dalam sebuah sajak Emi Suy kesunyian justru dimaknai sebagai alat atau sarana untuk menjaga keseimbangan jiwa agar manusia tidak limbung oleh derap waktu yang sering sulit dikendalikan oleh nalar dan perasaan yang memang rapuh.” demikian penjelasan penyair Joko Pinurbo.

Sementara itu pianis, komponin, musisi, serta penggiat kesenian dan kebudayaan, Ananda Sukarlan memberikan apresiasi dengan menggubah beberapa puisi karya Emi Suy ke dalam musik piano klasik dan sudah dipentaskan dalam beberapa konser mengatakan bahwa puisi yang indah itu musikal, dan musik yang indah itu puitis. Kedua bentuk seni itu mengandalkan satu elemen: metafora.

Kita para seniman menggunakan metafora untuk mengerti dunia nyata, baik karya seni yang berbentuk musik, tari, dan tentu saja puisi.

Dengan metafora yang tepat, karya seni dapat mengajukan pertanyaan yang paling dalam dan sulit dari satu benda bahkan fenomena, sosok ataupun isu yang kelihatannya kita sudah sangat kenal atau mengerti, karena karya seni itu lebih dari sekadar esai atau memberitakan fakta yang (dianggap) ada dan nyata, atau fakta yang dibicarakan orang.

Karya seni bukan hanya berbicara mengenai ada atau tiada, melainkan eksistensi yang lebih hakiki dalam ruang pikir dan batin manusia.

Itu sebabnya karya seni membawa kita ke bagian-bagian otak yang biasanya tidak kita jamah; seni tidak memberi jawaban tapi justru memberi lebih banyak pertanyaan tentang hidup.

“Puisi-puisi Emi Suy menimbulkan bunyi-bunyi dalam kepala saya yang biasa kita sebut musik, sehingga seringkali saya menuliskannya hanya untuk mencoba menjawab semua pertanyaan tersebut. Apakah saya berhasil? Kelihatannya tidak, itu sebabnya saya akan terus membuat musik dari puisi-puisinya yang lain, untuk menemukan jawabannya, atau terjerumus makin dalam dalam keindahan ambiguitas yang tidak terjawab. Alarm Sunyi memang sebuah alarm kepada kita untuk memikirkan ulang makna eksistensi, menjaga jarak dengan kehebohan dinamika hidup dan menggapai wisdom yang lebih tinggi dalam memaknai dan menjalani hidup. Sunyinya Emi Suy sangat puitis dan sekaligus musikal buat saya.” Demikian Ananda Sukarlan menjelaskan.

Sementara itu pimpinan JSM Press dan TareBooks Sofyan RH. Zaid yang menerbitkan buku Alarm Sunyi sejak cetakan pertama mengatakan, “Emi Suy adalah sosok perempuan penyair yang mengalami kemajuan sangat pesat. Semenjak Alarm Sunyi diterbitkan pertama kali tahun 2017, proses kepenyairan Emi Suy meningkat dan berkembang, ditandai dengan banyaknya karya-karya Emi yang diterbitkan di media massa nasional seperti Media Indonesia dan Kompas, serta di berbagai antologi puisi bersama yang jumlahnya sudah 100-an. Emi juga mulai banyak mendapatkan undangan sebagai narasumber di berbagai acara yang membahas puisi, bahkan memberikan kuliah tamu pada perguruan tinggi. Semoga perkembangannya lebih pesat lagi di masa mendatang”.*** 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini