Review Film

Pandemi Covid-19 Tak Surutkan Semangat Charles Gozali Tetap Berkarya Film

EksposisiNews Jakarta – Pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” tepat disematkan pada filmmaker Charles Gozali yang terjun ke dunia perfilman karena termotivasi ayahnya Hendrick Gozali, seorang produser yang bisa dibilang produser legendaris di Indonesia. Tapi Charles tak menggunakan aji mumpung, bahkan penuh perjuangan sebagai pembelajaran dirinya dalam dunia perfilman, karena ia terjun dalam dunia perfilman harus mulai dari bawah, sebagaimana saran sang ayah. Ia mulai dari posisi terendah, dari tukang dorong dolly kamera, asisten sutradara, asisten penata laga, asisten editor, hingga sampai jadi sutradara. Dari sini saya banyak belajar, apa yang saya punya ini, hampir semua itu saya belajar otodak, saya tidak lulusan sekolah film.

Pandemi Covid-19 Tak Surutkan Semangat Charles Gozali Tetap Berkarya Film 1

Pandemi Covid-19 tak menyurutkan semangat Charles Gozali, untuk tetap berkarya film. Apalagi, film terbaruya, Sobat Ambyar, mendapat sambutan apresiasi tinggi dan sambutan hangat dari masyarakat. Sebuah film yang dialih wahana dari perjalanan karier Didi Kempot berkarya, hingga dikenal sebagai maestro Campursari. Kisah film tersebut diambil dari sudut pandang Sobat Ambyar dengan menampilkan kisah perjalanan seseorang yang sangat mengidolakan Didi Kempot.

Berikut petikan wawancara dengan Charles Gozali, Jakarta (25/1/2021), mulai dari awal ketertarikannya dalam dunia perfilman, suka duka selama menggeluti dunia perfilman, pengalaman-pengalaman berkesan dalam menggarap serial TV maupun film, pandangannya mengenai perkembangan dunia perfilman, harapan ke depan mengenai dunia perfilman, pengalaman dirinya dan keluarganya dalam menghadapi Pandemi Covid-19, hingga harapan ke depan paska Pandemi Covid-19.

Bagaimana awalnya Pak Charles Gozali tertarik di dunia perfilman? Apakah semata karena orangtua di perfilman atau ada ketertarikan lainnya?

Memang salah satu alasan saya masuk ke dalam dunia perfilman itu adalah keberadaan ayah saya Hendrick Gozali, seorang produser yang bisa dibilang produser legendaris di Indonesia. Beliau dulu bersama Garuda Film company-nya memproduksi film November 1828 (1979), Perempuan dalam Pasungan (1980), Usia 18 (1980), Gadis Penakluk (1980), dan lain-lain. Juga memproduksi dua film Warkop yang banyak pujian dari penonton, Sama Juga Bohong (1986) dan Jodoh Boleh Diatur (1988). Jadi saya memang besar dalam lingkungan orang film, dimana saya melihat begtu banyak legenda perfilman Indonesia, seperti almarhum Teguh Karya, Sophan Sophiaan, Edward Pesta Sirait, dan lain-lain. Itu sudah menjadi keseharian buat saya melihat mereka bekerjasama dengan ayah saya. Seperti sekarang saya punya hubungan yang sangat baik dengan Om Slamet Rahardjo yang sudah seperti paman buat saya karena memang salah satu teman terbaik ayah saya. Saya besar di lingkungan orang film yang kemudian membuat film menjadi bagian hidup saya sejak lahir.

Bagaimana suka duka selama menggeluti dunia perfilman? Lebih fokus mana, sutradara, penulis cerita/ skenario, atau penyunting gambar?

Suka-duka dalam dunia perfilman Indonesia cukup banyak karena saya mulai terjun ke dalam perfilman justru di saat perfilman sedang mati suri. Ayah saya terakhir memproduksi film Ketika Seyummu Hadir (1991) bersama almarhum Sophan Sophiaan. Itu adalah film remaja yang bicara tentang pendidikan seks di sekolah, bagaimana remaja tumbuh dengan lingkungannya dan bagaimana orangtua menyikapi hal ini. Tapi kemudian di era tahun 90-an itu kan Indonesia dibanjiri film-film seks sehingga film-film yang baik berbicara keluarga tidak mendapat tempat di distribusi bioskopnya. Ayah saya memutuskan untuk berhenti memproduksi film karena tidak mau ikut terlibat memproduksi film-film seks. Kemudian, kami beralih ke televisi. Pada waktu itu saya sudah lulus SMA dan masuk kuliah jadi waktu juga sudah lebih banyak di lokasi syuting.

 Sewaktu kecil saya sering mengganggu orang-orang melakukan syuting, tapi setelah besar sudah tidak mengganggu lagi. Kalau kata Tante Widyawati menyebut saya sewaktu kecil seperti petasan. Tetapi setelah besar punya hubungan baik dan bahkan pernah bekerjasama dalam film Demi Demi (2010). Dari sering ke lokasi sampai akhirnya saya diajak sutradara Tanaka yang akan membuat sinetron Jacky. Sejak awal ayah saya dan Tanaka yang membuat sinetron Deru Debu (1994) tiga episode awal, tapi kemudian memproduksi sinetron Jacky (1996) dengan pemerannya Ari Wibowo, Marcelino Lefrandt dan Ayuni Sukarman Jacklyn (1996), Jacklyn 2 (1998) bahkan membawa Ayuni Sukarman menjadi bintang TV Terfavorit pada saat itu. Ayah saya menyarankan kalau saya mencoba harus untuk serius menggeluti perfilman, dimulai dari bawah. Saya mulai dari posisi terendah, dari tukang dorong dolly kamera, asisten sutradara, asisten penata laga, asisten editor, hingga sampai jadi sutradara. Dari sini saya banyak belajar, apa yang saya punya ini, hampir semua itu saya belajar otodak, saya tidak lulusan sekolah film.

Pada saat akan memproduksi sinetron selanjutnya, Dua Pelangi, saya mengajak Hilman Hariwijaya sebagai penulis skenarionya. Karena idenya datang dari kami berdua, saya dan Hilman. Pada saat dua minggu menjelang shooting, sutradaranya ada keperluan mendadak pergi ke Jepang. Dalam kondisi itu saya didapuk menjadi sutradaranya. Emainnya Nugie dan Ayuni Sukarman. Lalu berlanjut ke Buce Li, bahkan sampai sinetron religi Naudubillah Min Dalik. Lalu, ke film Rasa, Demi Dewi, Funding Srimulat, Nada untuk Asa, kami buat teaser film Satria Gatotkaca, sampai film Sobat Ambyar. Saya fokus ke sutradara. Belakangan saya juga terlbat penulisan skenario, penyunting gambar. Saya ingin kerjasama dengan banyak orang, sebagai opsi untuk mericek dalam penggarapan film, agar ada yang mengontrol dan menilai baik tidaknya.

Pengalaman apa yang paling berkesan selama menggeluti dunia perfilman?

Pengalaman yang paling berkesan selama menggeluti dunia perfilmn, bagi saya sangat banyak, baik dalam mengerjakan serial TV maupun film, karena kita bekerja dengan banyak orang, ada kru baru, ada pemain baru, bahkan seting juga baru. Seperti bekerjasama dengan Wulan Guritno dalam film Demi Dewi yang membuat Wulan dapat penghargaan kategori Aktris Terfavorit di Indonesian Movie Awards 2011. Sangat berkesan karena menjadi penghargaan pertamanya. Kemudian, dalam film Nada untuk Asa, dia juga dapat Piala Arifin C. Noer kategori Penampilan Singkat Nan Berkesan di Piala Maya 2015. Kemudan, bekerjasama dengan Reza Rahadian seorang aktor yang luar biasa tentu punya kesan tersendiri. Begitu ketemu dengan maestro Didi Kempot, yang lagunya sudah saya pelajari gitarnya sejak umur 20an. Banyak kenangan yang sangat berkesan. Saat membuat film Finding Srimulat juga bertemu dengan Mbak Jujuk almarhum, Mas Tessy, Mas Mamiek almarhum, Mas Gogon, banyak sekali kesan-kesan yang kemudian hadir. Masing-masing punya pengalaman yang sangat berkesan.

Terbaru, dalam penggarapan film Sobat Ambar, pakde Didi Kempot yang kesibukannya begitu sangat luar biasa, padat jadwalnya membuat pakde punya waktu yang sangat sempit bagi kami untuk melakukan syuting. Dalam porsi yang sedemikian sempit, begitu banyak hal yang harus dipersiapkan karena kami nggak sempat untuk melakukan reading atau persiapan sebelumnya. Bahkan menjelang syuting kami tidak sempat bertemu, ketemunya sewaktu mengejar minta restu, jauh sebelum syutingnya dan mendapat restu jauh sebelum syutingnya. Kami mencoba mendekati dan mencari waktu beliau, kami kejar sekitar tiga bulan lebih. Dia ada show dimanapun kalau hanya di Bandung kami datangi shownya. Pokoknya yang penting kami bisa bicara. Dalam waktu yang sangat sempit itu beliau sangat rendah hati, bersahaja dan sangat menghargai fansnya. Syuting adegan shownya sekitar 600 orang sampai penuh auditoriumnya. Datang pagi dari jam 7. Mereka datang sebagai penonton dan sebagian besar memang sobat ambyar. Ada yang gendong-gendongan. Begitu banyak wanita muda yang bernyanyi di depan, bahkan ada yang sampai nangis, ada juga berteriak histeris. Itu semua tidak ada yang disuruh. Yang perlu saya lakukan, mengajak mereka untuk menghayati dan membayangkan bagaimana kalau di depan ada sosok Didi Kempot yang mereka sangat kagumi dan kemudian lagunya diputar. Mereka langsung masuk dalam suasana yang luar biasa.  

Pakde Didik Kempot bilang saking luar biasanya saya harus menghibur mereka dulu. Saya sampaikan waktu syutingnya sudah sangat sempit. Kemudian, Pakde Didi Kempot menyakinkan saya, Kalau Sobat Ambyar senang, semangat, mesti film Sobat Ambyar juga sukses. Karena itu mereka sudah datang mau membantu kita, jadi mari kita hibur mereka. Mari kita beri penghargaan pada mereka. Kemudiian beiau menyanyikan lagu yang tidak ada di skenario. Belau menyanyikan lagu Cidro. Begitu mendengar beliau menyanyikan lagu, saya larut dalam suasana. Tuhan yang kemudian membantu sampai film ini selesai dengan baik.  Pengalaman yang sangat berkesan, tidak bisa tergambarkan.

Semua orang nggak sabar ingin syuting dengan Pakde Didi. Saya nggak sabar saat kami sudah menyelesaikan filmnya selesai dengan baik dan duduk berdampingan dengan pakde Didi. Teman-teman kru film berkomentar kalau saya spontanitas. Kalau sudah bilang spontanitas yang tahu sutingnya hanya saya dan Tuhan. Saya memang punya sesuatu yang sudah saya banyangkan untuk pakde. Saya tak ungkapkan.  Saya ingin secara natural. Karena kalau sudah diungkapkan, mereka menyiapkan segala sesuatunya. Saya ingin melihat ekspresi asli Asri Welas secara spontan menyaksikan begitu sangat haru sampai nangis di atas panggung. Semua itu menjadi sesuatu yang sangat saya tunggu-tunggu. Harus saya amini dengan segala kebesaran beliau. Seharusnya apa yang dilakukan secara tulus dengan segala keteguhan hati dan kerja yang maksimal akan mendapat apresiasi dari beliau seperti sejak awal beliau menerima kami untuk mau bergabung dalam produksi film Sobar Ambyar.

Apa pendapat Pak Charles Gozali mengenai perkembangan dunia perfilman sekarang ini?

Perkembangan perfilman Indonesia mengalami peningkatan semakin pesat, terutama dari jumlah penonton, sampai bisa mengalahkan jumlah penonton film Hollywood. Di beberapa tahun tertentu pangsa pasar membuka mata industri perfilma dari luar negeri dengan go internasional-nya Iko Uwais, Cecep Rahman, Yayan Ruhyan, Joe Taslim, minimal dunia perfilman internasional sudah mulai melirik kita. Hanya saja kondisi dunia perfilman kita bsedang mengalami perkembangan pesat, terjadi kemudian apa yang kita alami bersama dengan Pandemi Covid-19.

Apa harapan Pak Charles Gozali ke depan mengenai dunia perfilman?

Saya berharap industri perfilman Indonesia bisa survive melalui masa Pandemi. Seperti juga industri-industri lainnya. Seperti juga pemerintah Indonesa dan masyarakatnya. Semua masyarakat di dunia di berbagai belahan dunia manapun. Saya berharap semua bisa melewati cobaan Pandemi yang begitu dahsyat, baru terjadi seumur hidup dalam sejarah kemanusiaan. Pandemi yang membuat seluruh dunia berhenti pergerakannya untuk melakukan segala upaya pencegahan dengan cara mengurung diri menghentikan pergerakan untuk sementara waktu. Sesuatu yang sangat tidak pernah terbayangkan. Harapannya agar industri film Indonesia tetap semangat, kemudian tidak jatuh jauh dari standarnya. Para filmmaker tetap punya semangat berkarya memberikan yang terbaik. Harapannya para investor pun tetap memberikan kepercayaan pada kami untuk membuktikan perfilman Indonesia dapat melewati Pandemi, walaupun memang harus melewati sebuah masa yang sangat berat. Walaupun banyak produksi film terhenti, tetapi tidak menghentikan atau melambatkan semangat maupun usaha kami untuk belajar melakukan yang terbaik ke depannya.

Bagaimana pengalaman Pak Charles Gozali dan keluarga dalam menghadapi Pandemi Covid-19?

Pengalaman saya pribadi bersama keluarga dalam menghadapi Pandemi. Puji Tuhan sampai hari ini kami diberi segala kesehatan, itu yang paling penting. Ayah-ibu saya yang sudah berusia di atas 70 tahun pun masih tetap sehat. Saya dan istri beserta dua anak lelaki dan satu anak perempuan kami, juga dalam keadaan baik-baik saja. Kakak saya, Linda Gozali dan keluarganya dalam kondisi baik. Puji syukur kepada Tuhan. Saya “menikmati” waktu-waktu yang justru memaksa saya untuk banyak di rumah. Tidak terlalu sering berada di luar untuk mengejar pekerjaan dan tugas-tugas yang ada. Waktu yang memang kemudian bisa membuka peluang bisa bersama keluarga memberi kesan tersendiri. Karena saya sebenarnya tipe orang rumahan yang sangat suka di rumah dan  bermain dengan anak-anak dan istri, karena saya dekat dengan ketiga anak saya, dua anak masih balita, bahkan yang satu masih bayi. Puji Tuhan kami dalam kondisi yang cukup baik. Dan, bahwa kemudian di awal tahun ini dengan dirilisnya film Sobat Ambyar, sambutan dan reaksi yang kami dapat begitu sangat luar biasa dan banyak sekali dukungan positif  yang hadir, yang tentu membuat semangat kami untuk berkarya yang lebih baik semakin tinggi. Semoga semuanya bisa kami lalui dengan baik.

Apa harapan Pak Charles Gozali ke depan paska Pandemi Covid-19?

Harapan setelah Pandemi ini, saya harap semuanya bisa kembali, meski saya tahu tidak akan semuanya kembali seperti semula, tetapi kondisi new normal dan tantangan yang ada pada waktu yang cukup panjnag dalam setahun ini tidak akan melemahkan langkah kita ke depan. Sebagai seorang ayah, sebagai seorang anak, sebagai seorang suami, sebagai seorang filmmaker, saya berharap semuanya dapat kita lalui bersama-sama yang lebih baik ke depan.

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version