Eksposisinews – Minyak mentah tak kuasa untuk menahan keterpurukan dan memperpanjang penurunan tajamnya di pekan lalu menyusul penurunan 2% pada hari Senin atas penguatan dolar AS dan wajah suram pembatasan pandemi baru di Asia, terutama China, yang diperkirakan akan menghambat pemulihan permintaan minyak global.
Minyak mentah berjangka Brent telah menderita dan mencatat penurunan mingguan terbesar dalam empat bulan terakhir setelah merosot 6% di pekan lalu, turun 1,8%, atau $1,27 ke level $69,43 per barel, hingga berita ini diturunkan. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS turun 1,9%, atau $1,29, menjadi $66,99 per barel, setelah merosot hampir 7% di pekan lalu dan merupakan penurunan mingguan tertajamnya dalam sembilan bulan terakhir.
Potensi merosotnya permintaan minyak global kembali menjadi kekhawatiran serius menyusul lonjakan tingkat infeksi virus Korona varian Delta. Tak ayal, pemerintah konsumen minyak terbesar kedua di dunia itu terpaksa memberlakukan pembatasan baru. Otomatis ini menjadi faktor utama yang mengaburkan prospek pertumbuhan permintaan. Pembatasan tersebut termasuk pembatalan penerbangan, peringatan perjalanan terhadap 46 kota, dan pembatasan transportasi umum dan layanan taksi di 144 daerah yang paling parah terkena dampaknya.
Pada hari Senin, laporan menunjukkan terjadi lonjakan kasus infeksi baru Covid 19 di China, sebanyak 125 kasus COVID-19 baru yang terjadi, naik dari 96 sehari sebelumnya. Sementara di Malaysia dan Thailand, infeksi atas kasus covid 19 terus mencapai rekor harian dengan lebih dari 20.000 kasus baru.
Data berbicara, impor minyak mentah China sedikit mengalami penurunan pada basis harian pada Juli menjadi 9,71 juta barel per hari (bph), empat bulan berturut-turut impor di bawah 10 juta bph dan turun tajam pada rekor 12,94 juta bph pada Juni 2020 ketika penyulingan meningatkan persediaan minyak mentah ketika harga murah, data yang dirilis pada hari Sabtu menunjukkan.
Pertumbuhan ekspor China juga memburuk pada Juli, jauh lebih rendah dari yang diperkirakan menyusul merebaknya kasus COVID-19 dan banjir yang menghantam China. Sementara pertumbuhan impor juga lebih lemah dari yang diperkirakan. Sehingga, ini dijadikan acuan atas perlambatan di sektor industri negara itu pada paruh kedua tahun ini.
Sementara itu, penguatan dolar AS ke level tertingginya dalam empat bulan terakhir terhadap euro juga turut andil turunnya harga minyak, setelah laporan pekerjaan AS pada Jumat pekan lalu yang lebih kuat dari perkiraan memicu spekulasi bahwa Federal Reserve mungkin bergerak lebih cepat dalam memperketat kebijakan moneter AS.