Review Film

Mengenang WS. Rendra : Daulat Seni, Setia Menghidupi Seni, Hadir dan Mengalir

EksposisiNews – Ada hubungan timbal balik antara seni dan daya hidup. Seni yang dihayati memiliki daya gerak; daya tumbuh; daya dobrak; spirit yang memusat. Bagai titik api yang menghasilkan levitational force (magnet) dari kekuatan fundamental alam semesta.

“Inilah yang diajarkan mas Willy (WS. Rendra). WS. Rendra selalu mengajarkan kepada kita bagaimana mengolah daya hidup dan daya cipta. Walaupun miskin tetap gagah dan terus berkarya. Tidak boleh menyerah menghadapi apa saja,” ujar Iwan Burnani Toni, saat dijumpai di Sanggar Humaniora, Kranggan Permai, Jatisampurna Kota Bekasi, Senin (31/10/2022).

Seseorang yang menghayati dan mempraktikkan seni dengan passion dan kehadiran diri yang penuh dalam laku seninya, kata Iwan, akan mengalami antusiasme dan gairah yang membuat hidupnya lebih hidup.

“Karya seni, aktivitas seni, dan konsep seni yang secara langsung maupun tidak, membangkitkan daya hidup. Minimal bagi si pelakunya,” kata salah satu pendiri Bengkel Teater Rendra ini.

Ajaran guru WS. Rendra inilah yang menjadi spirit dan terus dimuarakan; “hadir dan mengalir” tanpa berlindung di balik lembaga dan nama besar seorang Rendra.

“Ada satu pesan buat aku. Lompati kepala saya. Kamu harus berkarya sendiri di luar. Teruskan ajaranku kalau aku sudah meninggal. Jangan bawa-bawa nama Bengkel Teater Rendra. Kamu bisa meneruskan karya-karyaku. Contohlah kakak-kakakmu, seperti Teguh Karya, Chairul Umam, Arifin C. Noer, Adi Kurdi, Putu Wijaya, dan yang lainnya. Mereka sudah berkarya di luar bengkel teater,” tutur Iwan mengenang pesan WS. Rendra.

Willy! Demikian ia kerap disapa murid-murid dan kerabat dekatnya. Geraknya lincah energik. Kata-katanya tajam resap. Hadir, mengalir, meruang dan mewaktu. Menggelorakan jiwa muda dan mengendapkan jelaga-jelaga.

Hidupnya penuh prestasi dan sensasi. Tak kenal kompromi. Bergerak aktif dari orde ke orde dalam pergulatan dialektik. Cendikiawan, dramawan, budayawan, pujangga, bahkan pemimpin kaum urakan.

Itulah WS. Rendra, yang spiritnya tak pernah padam. Eksistensinya dikenang dalam impresi dan histori bertajuk “Hadir dan Mengalir” yang akan digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Jum’at, 11 November 2022 mendatang.

“Acara ini sekaligus mengenang para pejuang kesenian, anggota Bengkel Teater Rendra yang telah berpulang. Antara lain; WS. Rendra, mama Sunarti Swandi, Ken Zuraidah, LiLy Suardi (Hidayati Aisyah), Areng Widodo, Adi Kurdi, Radhar Panca Dahana, mbah Surip, dan anak-anak bengkel lainnya yang telah berpulang,” terang Iwan Burnani.

Acara ‘Hadir dan Mengalir’ ditandai dengan pembacaan sajak-sajak Rendra oleh sejumlah seniman, antara lain; Iwan Burnani Toni, Yahyah Rudy, Jose Rizal Manua, Tio Pakusadewo, Eddie Karsito, Joind Bayuwinanda, Vonny Anggraeni, Widi Dwinanda, dan seniman lainnya.

Di acara ini sekaligus penayangan perdana Film Teater ‘Bunga Semerah Darah’ yang disutradarai Iwan Burnani Toni. Ceritanya ditulis WS. Rendra tahun 1950, ketika masih duduk di bangku kelas 2 SMP. Namun ceritanya masih cukup relevan dengan kondisi sosial masyarakat saat ini.

“Naskah ini aku adaptasi ke skenario film. Dikorelasikan dengan kondisi sekarang. Benar-benar hasil pengamatanku ketika covid-19 melanda Indonesia. Banyak ketidak adilan dialami orang-orang miskin. Mereka tidak dapat bantuan hanya karena tidak jelas KTP-nya. Berobat ke Puskesmas ditolak. Anak dikriminalisasi mati tanpa pengadilan,” terang Iwan menyoal cerita film Bunga Semerah Darah.

Iwan Burnani mengaku bersyukur kepada Tuhan, karena di usianya yang hampir 72 tahun setiap tahun tetap bisa berkarya. Tetap mengolah daya hidup dan daya cipta. Daulat seni dan tetap setia menghidupi seni.

“Karya Rendra benar-benar aku adaptasi total dengan keadaan sekarang. Oleh karena itu karya ini aku dedikasikan terutama untuk Rendra guruku, bapakku, sahabatku dan musuhku. Tanpa dia aku enggak akan jadi seperti sekarang,” ungkap Dewan Pembina Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan ini.

Kenapa Iwan menyebut Rendra musuhnya? Sebab keduanya sering berdebat. Tak jarang menjadi pertengkaran dan saling mengkritik.

“Aku pernah mengkritik dia dalam pementasan Hamlet tahun 1993. Waktu itu perdebatan menjadi pertengkaran hebat. Aku pergi dari Bengkel Teater. Selama dua tahun kami enggak tegoran walaupun satu mertua,” kenangnya.

Film ‘Bunga Semerah Darah’ diperani antara lain, Tio Pakusadewo, Maudy Kusnaedy, Asrul Dahlan, Vonny Anggraeni, Widi Dwinanda, Joind Bayuwinanda, Eddie Karsito, dan beberapa aktor lainnya.

Sebelumnya Iwan Burnani menggarap film teater berbasis karya sastra ‘Petang di Taman.’ Film ini diproduksi Teater Baling-Baling, Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan, dan Citrus Sinema. ‘Petang di Taman’ merupakan karya masterpiece seorang novelis, penyair, dan esais Indonesia, Iwan Simatupang. 

Acara impresi dan histori “Hadir dan Mengalir” diselenggarakan oleh Teater Baling-Baling dan Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan. Didukung Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Borobudur Writers Culture Festival (BWCF).

“Hadir dan mengalir mengajarkan kepada siapa saja untuk menghormati orang tua dan guru. Menyadari dari mana dia berasal, lahir dan berproses dengan mengamalkan apa yang telah diajarkan,” kata Iwan Burnani menutup.***

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Exit mobile version