EksposisiNews – UNESCO sudah merumuskan secara komprehensif empat pilar pendidikan, yaitu learn to know, learn to do, learn to be, serta learn to live together. Keempat pilar tersebut tentunya harus diterapkan sesuai faktor kontekstual lingkungannya.
Saat ini kita hidup di keterbatasan sistem bumi dalam menyediakan kebutuhan sumber daya alam bagi umat manusia yang jumlahnya bertambah banyak mencapai +/- 7,8 Milyar pada tahun 2022.
Permasalahan utama yang dihadapi saat ini adalah pemanasan global serta ancaman risiko perubahan iklim.
Oleh karena itu aktivitas umat manusia sedang diarahkan menuju kehidupan berkelanjutan (sustainable living).
Maka yang sangat penting saat ini adalah bagaimana kita bisa berkontribusi pada percepatan transisi sistem ekonomi rendah karbon (ekonomi sirkular) yaitu sistem ekonomi yang berorientasi kepada penggunaan sumber daya alam yang efisien, menggunakan lebih sedikit, menghasilkan lebih banyak, lebih dari sekedar waste management system yang meliputi pengaturan proses dari hulu hingga ke hilir.
“Hal ini sangat penting agar masih ada sumber daya yang tersisa bagi generasi yang akan datang untuk dapat hidup layak minimum sama dengan kondisi kita saat ini. Dengan kata lain keempat pilar tersebut bisa dibungkus dengan satu pilar utama yaitu “learn to create a sustainable living,” kata pengamat bisnis berkelanjutan Idrianita Anis, menyampaikan dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2023.

Empat pilar pendidikan versi UNESCO mengatakan bahwa pendidikan itu harus mendidik umat manusia untuk empat hal utama, yaitu learn to know atau belajar untuk mengetahui dan memahami sesuatu, untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan,
Termasuk, di sini adalah penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, informasi dan data yang dapat membantu dalam penghematan serta menciptakan sumber daya baru.
Lalu, learn to do atau belajar untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk umat manusia dan lingkungan dengan berbagai inovasi.
Kemudian, learn to be atau belajar untuk menjadi pribadi dengan keahlian tertentu yang menjunjung tinggi etika, bersikap akuntabel dan berintegritas serta mampu memberikan kontribusi positif atas keahlian yang dimiliki.
Terakhir, learn to live together atau bagaimana kita belajar untuk memahami perbedaan dan keragaman antar manusia, berbagi pengetahuan untuk menciptakan harmoni.
Semuanya harus dimulai sejak dini, dari diri sendiri pada enam aspek berikut:
Pertama, Responsible consumption bermakna bagaimana kita belajar mengurangi limbah makanan, konsumsi air serta berkomitmen pada ekonomi sirkular dan efisiensi energi.
Kedua, Sustainable mobility, bermakna memikirkan cara mengoptimalkan penggunaan kendaraan, sepeda, motor, sharing kendaraan serta alat transportasi umum,
Ketiga, Sustainable food, bermakna bagaimana kita bisa membeli dan mengkonsumsi bahan makanan organik, memakan buah-buahan dan sayuran lebih banyak serta mengurangi konsumsi daging dan ikan.
Keempat, Sustainable design bermakna bagaimana kita memilih dan menggunakan desain ramah lingkungan dimulai dari T-Shirt, kacamata, sepatu, pakaian dll,
Kelima, Reduce, Reuse, Recycle bermakna bagaimana kita peduli dan memilikirkan cara untuk mengurangi plastik, konsumsi energi, menggunakan peralatan makan yang bisa dipakai berulang, dan membawa tas belanja.
Keenam, Environmental education, bermakna menularkan hal-hal positif dari apa yang pernah dilakukan. Setiap individu berpeluang menjadi champion atau leader dalam komunitasnya. Karena inisiatif keberlanjutan dimulai dari komitmen kepemimpinan yang memberi contoh (leading by example).
Sebenarnya, dunia bisnis sudah lama mengenal istilah keberlanjutan dengan tiga konsep penting dalam berbisnis, yaitu “triple bottom line” yaitu Profit, People, serta Planet.
Ini artinya bisnis itu harus mampu memikirkan bagaimana menghasilkan laba (Profit) secara beretika, dengan memperhatikan kesejahteraan, kesehatan dan keselamatan karyawan (People), mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta menjaga kelestarian alam (Planet).
Namun untuk mencapai situasi ini diperlukan pilar keempat yaitu tata kelola atau Governance yang di dalam mencakup komitmen kepemimpinan, pengaturan tanggung jawab, pendelegasian wewenang, penugasan sesuai keahlian, formulasi strategi, penetapan indikator kinerja, target kinerja, pengukuran capaian serta pelaporan kemajuan kinerja.
Dalam kenyataannya banyak perusahaan yang gagal menerapkan konsep “triple bottom line” yang dikenal dengan istilah Sustainability Blunder.
Istilah ini hadir karena lemahnya “Governance”.
Banyak inisiatif keberlanjutan yang dilakukan perusahaan tetapi hanya bersifat pencitraan atau kegiatan simbolik, tidak ada peningkatan dalam praktik bisnis.
Dan sering juga inisiatif menjurus ke pelanggaran etika atau bermuatan moral hazard.
Sehingga kemajuan praktik bisnis berkelanjutan dibagi atas tiga gelombang perubahan. Pertama, kelompok yang lamban atau yang mengabaikan keberlanjutan,
Kedua, kelompok yang menyadari ada tipologi risiko baru dan meningkatkan governance,
Ketiga, kelompok yang mendapatkan pengalaman bahwa mengambil peluang berkelanjutan menjadi faktor kunci kesuksesan bisnis di berbagai skala global maupun nasional.
“Dengan demikian “Learn to create a sustainable living” memiliki makna yang komprehensif, dengan ide dasarnya bagaimana mengembangkan “growth mindset” serta bangga dengan “sustainable life style” yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Nah, menanamkan hal ini termasuk ke dalam tantangan pendidikan saat ini dan ke depannya di era masyarakat cerdas 5.0,” tegas Idrianita Anis yang juga Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti serta Doktor Bidang Corporate Governance dan Sustainability Management dari Universitas Indonesia ini menutup penjelasannya.***