Gola Gong dengan kegiatan literasi (Foto Istimewa dok pribadi)
Gola Gong dengan kegiatan literasi (Foto Istimewa dok pribadi)

EKSPOSISI – Heri Hendrayana Harris atau lebih dikenal dengan nama Gola Gong dikenal begitu gigih memperjuangkan dunia literasi. Kekurangan anggota badan tak halangi tekad dan semangat, penyandang difabel itu, demi kemajuan dunia literasi.

Gola Gong membuat komunitas bernama ‘Rumah Dunia’, sebuah komunitas kebudayaan yang bergiat di bidang jurnalistik, sastra, film, teater, musik dan menggambar. Misinya mencerdaskan dan membentuk generasi baru yang kritis. Bahkan, baru-baru ini ia mengadakan traveling yang mengusung “gempa literasi”, dimana “gempa’ disini dimaksudkan bertujuan untuk menghancurkan kebodohan

“Perkembangan dunia literasi di Indonesia secara kuantitas bagus. Tinggal meningkatkan kualitas pengelola dan program membaca dan menulisnya, “ kata Gola Gong, Rabu (5/12/2018)..

Lelaki kelahiran Purwakarta, Jawa Barat, 15 Agustus 1963, itu menyayangkan, bahwa masyarakat belum banyak yang tahu manfaat membaca buku, baik secara intelektual bahkan ekonomi.

“Itulah sebabnya, kenapa saya traveling mengusung “gempa literasi”, gempa yang menghancurkan kebodohan, “ ungkapnya tampak begitu sangat bersemangat.

Ketika ditanya, kenapa memakai nama  “gempa literasi”? Dengan tenang, Gola Gong memberikan jawaban, “Gempa tektonik atau vulkanik dimaknai sesuatu yang menakutkan,  menghancurkan. Saya ingin memberi makna baru.”

“Gempa literasi, pusat epicentrum gempa literasi di Rumah Dunia, “ imbuhnya.

Gola Gong menyebut, kegiatan gempa literasi, terdiri dari pertunjukkan seni, pelatihan (life skill), bedah buku, hibah buku, aneka lomba, orasi dan diskusi.

“Ketujuh kegiatan itu secara konsisten dan kontinyu dilakukan di komunitas literasi. Disesuaikan dengan kategori umur, “ tuturnya.

Gola Gong juga menyebut tujuh pilar komunitas literasi, yakni, pertama, base camp, sekretariat. Kedua, SDM, Relawan (mahasiswa). Ketiga, program (rekreatif, edukatif,  inovatif).

“Keempat, Dana, tapi syaratnya jangan mengandalkan proposal, tapi membuat ide kreatif, jualan buku, jadi nara sumber berbagai acara, infaq sedekah, relawan dan simpatisan. Kelima,  Koleksi buku (berbagai jenis, variatif). Keenam, Jejaring (dengan komunitas lain). Terakhir, ketujuh, promosi, publikasi dan dokumentasi, seperti diantaranya di medsos. “ paparnya.

Mengenai Rumah Dunia, Gola Gong memceritakan, bahwa setiap Rumah Dunia membutuhkan dana besar untuk sesuatu yang tidak terduga, misalnya butuh dana operasi atau beasiswa warga belajarnya, gotong royong adalah solusinya.

“Seperti saat ini, butuh dana Rp 10 juta untuk perbaikan Instalasi listrik di auditorium Surosowan Rumah Dunia,  “ ungkapnya.

Gola Gong menyampaikan, bahwa inilah keajaiban mengurusi Literasi bersama-sama di Rumah Dunia.

“Sejak 2002, tradisi gotong royong sudah dimulai. Transparansi jadi bahasa sehari-hari. Ini tentu karena cinta, “ ujarnya.

Menurut Gola Gong, dalam menperjuangkan dunia literasi, kendalanya, memang biasanya rata-rata hanya pada anggaran.

“Kadangkala mereka bingung harus menghonori saya berapa. Biasanya subsidi silang. Misalnya, setelah acara resmi dengan Perpusda, Kemdikbud atau Balai Bahasa setempat di siang hari, saya mencuri waktu di malam hari untuk berdiskusi dengan komunitas literasi, “ bebernya.

Gola Gong dan Tias Tatangka, istrinya, punya rencana, jika film Balada Si Roy yang siap diproduksi nanti, box office, mereka akan nomaden selama setahun.

“Di tiap kota yang kami singgahi,  kami menyulut gempa literasi, memberi pelatihan menulis. Gratis, “ ujarnya.

Gola menyambut peringatan Hari Disabilitas Internasional, yang diharapkan menuju hal ideal dalam persoalan hak hidup, ibarat mendorong batu ke bukit.

“Sisyphus pasti akan menangis mendampingi,  karena itu sesuatu yang tidak mungkin. Jangankan orang cacat, orang normal pun susah. “ ujarnya.

Gola Gong mremberi apresiasi pada Presiden RI, Jokowi, dalam perayaa Hari Disabilitas Internasional di sebuah pabrik motor di Bekasi, Senin 3 Des 2018, mengingatkan kembali instruksinya kepada Mensos yang belum direalisasikan, yaitu membangun pabrik yang bisa menampung pekerja cacat.

“Kita juga senang, pemerintah sudah mulai peduli dan perhatian pada para difabel. Walaupun belum sempurna, tapi sekarang trotoar kita sudah ada jalur tunanetra. Juga akses bagi orang lumpuh ke mall, toilet  atau bis, “ tegasnya.

Sebagai penyandang difabel, Gola Gong pernah menorehkan prestasi yang sangat prestius di ajang olahraga khusus difabel.

“Saya pernah juara di ajang Para Games, yang dulu masih bernama Fespic Games, Asia Pacific) di Solo (1988) cabang badminton, dengan tiga emas (single, double, beregu) dan Kobe, Jepang (1990) dapat dua emas (double dan beregu, single perunggu), bonusnya dari provinsi saja dulu Rp 1 hingga Rp 2 juta, “ tandasnya.(AS)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini